Selamat Datang Sobat NKRI »
Terima kasih atas kunjungan anda. Silahkan periksa banner dan link sobat...!!
Klik di sini untuk melihatnya

Minggu, 22 Februari 2009

Pendidikan, Pelatihan dan Pekerjaan1


Pendidikan, dan Pelatihan

Berbicara tentang pendidikan, kita seolah mengarahkan pandangan kita kepada sekolah atau lembaga sejenis yang bergerak pada bidang pelatihan dan lain sebagainya. Namun bila dihubungkan dengan aspek pekerjaan sangatlah jelas perbedaan antara pendidikan dan pelatihan didalam dunia kerja. Karena dengan pendidikan sekarang ini adalah lebih bersifat menuntun orang belajar untuk menjadi apa yang telah dipelajarinya. Sehingga orang yang bekerja atas keterampilan yang telah dipelajarinya itu cenderung melupakan dirinya sendiri sehingga tanpa sadar menjadikan majikannya semakin kaya sementara diri sendiri mendapat nol koma nol sekian persen dari apa yang telah ia peroleh buat majikannya. Dan lebih parah lagi orang semacam ini selalu memperoleh predikat pekerja terbaik disertai pemberian penghargaan sehingga harga yang sebenarnya ia peroleh tetap jauh lebih kecil dibanding dengan yang dihasilakan disaku majikannya.

Sangat diharapkan pada masa yang akan datang agar dapat lahir pendidikan pekerja yang dapat menuntung pekerja untuk menjadi diri sendiri sehingga apa yang ia peroleh betul-betul dapat memberi nilai tambah bagi masa depannya. Paling tidak kalau mau dicontohkan; ‘kalau ia tukang sapu pada saat mulai bekerja maka ia akan bisa menjadi pengusaha yang bergerak dibidang kebersihan gedung atau kantor’ dan dapat membina para pekerja (tukan sapu) pemula lainnya untuk berbuat dan berusaha untuk melayani lebih banyak kebutuhan "kebersihan" lagi. Jadi terjadi suatu proses pengembangan dari waktu kewaktu.

Adapun sisi lain yang sering terjadi didunia kerja yaitu kita kenal apa yang namanya pelatihan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang telah disebutkan diatas. Hanya ada sedikit perbedaan tata letak dimana pendidikan difokuskan pada pemberian pengetahuan. Sedangkan pelatihan lebih difokuskan pada tujuan untuk bertindak terhadap apa yang dapat dikerjakan dan akan dilakukan seorang pekerja. Inilah yang terjadi sehingga kebanyakan pekerja hidup dalam batas kemampuannya sendiri yang berati mereka bekerja sambil berdoa dan akhirnya hanya mampu membayar segala tagihan atas upah yang telah diperolehnya.

Tak jarang kita jumpai disuatu tempat dimana pekerja bermukim. Mulai dari pekerja itu sendiri hingga keluarga atau anggota keluarga lainnya. Hal yang paling umum menjadi bahan perbincangan adalah tentang gaji, jabatan sampai harta benda yang diperoleh atas hasil kerjanya. Tak ada pembicaraan menyangkut cara peningkatan kwalitas individual yang dibahas bila timbul suatu percakapan sehingga lupa apa yang sebenarnya menjadi hakikat sebagai sumber daya manusia yang hakiki, yaitu peningkatan kwalitas hidup dari generasi ke generasi.

Tak dapat dipungkiri, hal seperti tersebut diatas tidak akan pernah menghapus predikat pekerja yang kurang positif, yaitu biasa disebut “yesman”, “ABS/asal boss senang” dan berbagai modul negativ lainnya sampai ada yang namanya (maaf) “penjilat”. Sisi buruk ini tak jarang melahirkan konflik pribadi antara pekerja itu sendiri sehingga timbul masalah baru yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memperlemah kesatuan para pekerja. Karena sementara ada yang menjadi “anak emas” sementara yang lainnya akan tersisi. Walaupun sebenarnya memiliki kemampuan tekhnik yang sangat minim tetapi dengan sedikit dapat meyakinkan majikannya maka jadilah ia pekerja 'baik'. Sementara yang lainnya mungkin memiliki “kemampuan berlebih” tapi tidak dapat mengambil hati majikan, jadilah ia pekerja yang terlupakan sehingga ia kehilangan semangat dan berpengaruh buruk terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

Inilah salah satu sisi kehidupan pekerja yang menjad faktor penghambat peningkatan kwalitas pekerja pada umumnya. Sering kita jumpai pekerja yang mengeluh. Mulai dari yang tidak cocok dengan atasannya, tidak sesuai dengan gajiya dan tidak sepaham dengan rekan sekerjanya sehingga dapat dikatakan menghambat peningkatan kwalitas personal.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, untuk menjadikan seorang pekerja berkwalitas, maka selayaknya dibentuk sejak masih didalam taraf pendidikan, pelatihan dan tak berhenti sampai disitu. Pembinaan secara berkesinambungan juga harus menjadi salah satu agenda utama pemerintah dan perusahaan. Dapat diwujudkan berupa pembinaan umum sampai dengan pembinaan khusus. Apabila seorang pekerja berkualitas maka secara otomatis pula akan menjadi pekerja yang ber-etika tinggi. Dengan demikian nilai ekonomi akan ikut terangkat sejalan dengan semakin meningkatnya nilai jual bagi pekerja itu sendiri. Kalau sudah berkualitas, ber-etika, bernilai jual maka kesejahteraan tidak lagi menjadi mimpi panjang bagi pekerja dari generasi ke generasi.
READ MORE - Pendidikan, Pelatihan dan Pekerjaan

Jumat, 20 Februari 2009

TINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI PENINGKATAN KWALITAS PERSONAL0


Ubah Cara Pandang Terhadap Budaya Kerja Saat Ini

Jika ingin hidup anda lebih baik, segera tinggalkan pekerjaan yang hanya mengikat dan membelenggu kebebasan manusiawi anda. Sebagai penerima upah, kita hanya mampu berharap dan berdoa sementara majikan hanya mencurahkan pikiran terhadap kelangsungan dan peningkatan usahanya saja. Upah dan fasilitas yang diberikannya tidak lebih hanya sebagai pemenuhan rasa lapar belaka dan penyanjung setia selama tenaga dan pikiran kita masih dibutuhkannya.

Dapat kita lihat mulai dari proses penerimaan pegawai hingga selama menjalani aktifitas kerja kita selalu berada pada urutan prioritas yang dinomor sekiankan. Baru mendapat perhatian apabila pada suatu waktu terdapat seseorang atau sekelompok pekerja yang membuat gagasan atau suatu rencana untuk mengadakan perbaikan sistim. Seperti perubahan pola kerja, sistim perhitungan upah, itupun langsung dipinggirkan dan diposisikan layaknya sebagai pemberontak pada jaman penjajahan.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki dan memperjelas kedudukan pekerja. Diantaranya melalui perangkat undang-undang yang isinya memuat tentang tanggung jawab majikan sampai pada sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Namun semua itu tidaklah berarti apa-apa bila kita melihat langsung dilapangan sebagai dunia nyata. Berbagai alasan dikemukan untuk mengakali aturan tersebut. Disamping itu dibagian lain kehidupan pekerja telah dibentuk suatu perkumpulan pekerja atau biasa disebut serikat pakerja. Selain sebagai alat kontrol juga sebagai penghubung dan pembawa aspirasi bagi pekerja yang menjadi anggotanya. Namun kenyataan membuktikan bahwa itu tidaklah cukup bagi pekerja apalagi mencapai posisi yang diamanatkan oleh undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah sebagai mitra perusahaan dalam hubungan industrial pancasila. Itu bisa dilihat dari maraknya aksi demo memperjuangkan nasib guna memperoleh yang “lebih baik”. Itupun selalu berujung pahit dipihak pekerja sendiri. PHK sebagai alasan efisiensi tidaklah sulit untuk dilakukan oleh para pengusaha dengan berbagai macam alasan terhadap aksi pekerja tersebut. Perangkat aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan mudahnya "diakalai" untuk memperlancar proses “keinginan” pengusaha tersebut.

Satu hal yang umum disebut sebagai perjanjian kerja bersama yang proses pembuatannya selalu melibatkan pekerja atau wakilnya secara langsung. Tapi kenyataannya sembilan puluh sembilan persen isinya lahir dari kehendak pengusaha itu sendiri. Tidak peduli dilapangan yang dirasakan dan disaksikan tidak lebih sebagai cambuk normatif untuk melakukan tindakan atau pemaksaan kehendak dari pengusaha itu sendiri melalui perpanjangan tangan para mandor dan kaki tangan lainnya (yang sebetulnya juga sebagai pekerja) untuk mencapai tujuan pengusaha. Sebagai pekerja seolah tidak ada jalan yang bisa dipilih untuk mencapai kesejahteraan hakiki. Hari-hari berlalu sampai tahun berganti tahun, nasib pekerja tidak banyak berubah apalagi “lebih baik” bila dibandingkan dari mulai jaman penjajahan sampai jaman kemerdekaan atau bila diukur mulai dari ere agraris, era industri, era global sampai pada era informasi pada saat ini. Pekerja dalam semua era itu tetaplah sebagai budak yang selalu dipermak dan dipoles dari masa kemasa yang ujung-ujungny tidak lebih dari mencari “makan” buat ganjal perut saja.

Hanya satu cara yang dapat ditempuh untuk mengubah kenyataan tersebut. Yaitu segera mengubah cara pandang kita terhadap budaya kerja saat ini. Karena ada tiga kelemahan besar yang terdapat pada diri pekerja. Diantaranya lemah dalam hal ekonomi, lemah terhadap status dan tidak punya nilai tawar. Hal ini dapat kita lihat dan rasakan sewaktu menjalani proses penerimaan pegawai. Apabila calon pegawai tidak memiliki pengalaman kerja maka alasan pengusaha ialah lowongan yang dimaksud dibutuhkan pengalaman. Tetapi apabila calon pekerja tersebut telah memiliki pengalaman maka alasan diatas serta merta berubah sebaliknya dan mengatakan kalau pengalaman yang dimiliki oleh calon pekerja sangat tinggi dan perusahaan tidak mampu membayarnya sesuai dengan yang semestinya. Dengan kedua motif alasan diatas sudah barang tentu bisa ditebak bahwa ujungnya akan jatuh pada harga yang sangat murah dan sudah pasti itu merupakan kehendak perungusaha.

Tidak banyak dari pekerja yang berani mengatakan “tidak” terhadap majikan yang dapat mengubah nasibnya dengan berbagai perjuangan yang oleh rata-rata pekerja lainnya mungkin disebut langka. Dan hal ini akan dibahas pada bagian lain tulisan ini.

READ MORE - TINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI PENINGKATAN KWALITAS PERSONAL

   Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net   Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net  


     

     

  

CommunitY

  ©DESIGNED BY DALVINDO ORLANDO